Saat menghadapi tekanan atau ancaman, manusia biasanya merespons dengan tiga pola: melawan (fight), menghindar (flight), atau membeku (freeze). Pola ini sudah lama dikenal sebagai mekanisme bertahan hidup. Namun, para psikolog kini menemukan pola baru yang banyak muncul, terutama pada Generasi Z, yaitu fawning. Fenomena ini erat kaitannya dengan perkembangan media sosial, teknologi digital, dan cara interaksi modern. Fawning adalah perilaku berlebihan dalam berusaha menyenangkan orang lain untuk menghindari konflik, penolakan, atau rasa tidak aman. Istilah ini dipopulerkan oleh Meg Josephson, seorang terapis, yang menyebutnya sebagai respons stres modern. Berbeda dari respons tradisional, fawning membuat seseorang menyesuaikan diri secara ekstrem dengan orang lain, bahkan sampai mengorbankan kebutuhan pribadi. Biasanya, pola ini terbentuk sejak kecil pada individu yang tumbuh di lingkungan penuh tekanan emosional dan kemudian terbawa hingga dewasa. Mengapa hal ini perlu diketahui, ketika sudah memahami fawning dapat membantu Gen Z menjaga kesehatan mental, membangun rasa percaya diri yang lebih kuat, serta menciptakan hubungan yang setara. Pengetahuan ini juga bermanfaat bagi orang tua, guru, dan atasan agar lebih peka dalam memberi dukungan.
Mengapa Gen Z Rentan Mengalami Fawning?
Jika dulu perilaku ini lebih banyak disebabkan faktor keluarga, kini Gen Z rentan mengalami fawning diakibatkan media sosial dan budaya digital turut memengaruhi. Beberapa pemicunya adalah:
- Tekanan validasi online
Notifikasi, “like”, komentar, hingga tanda pesan dibaca tapi tidak dibalas dapat menimbulkan kecemasan dan rasa takut ditolak. - Kebutuhan kepastian instan
Budaya serba cepat membuat Gen Z sering merasa perlu segera mendapat jawaban. Jika tidak, mereka cenderung mencari validasi secara berlebihan. - Ketergantungan pada AI
Beberapa orang mencari ketenangan dari chatbot seperti ChatGPT. Namun, interaksi ini tidak bisa menggantikan hubungan emosional yang nyata.
Meskipun tampak positif karena menunjukkan empati dan keramahan, fawning yang berlebihan bisa berbahaya dan berdampak negatif antara lain:
- Hilangnya identitas diri akibat terlalu menyesuaikan dengan orang lain.
- Hubungan tidak seimbang karena satu pihak selalu mengalah.
- Stres emosional yang berujung kecemasan atau depresi.
- Risiko gangguan psikologis seperti Relationship OCD, yakni obsesi memastikan hubungan selalu baik meski tanpa masalah nyata.
Secara garis besar perilaku ini bukanlah sifat bawaan, melainkan pola yang bisa diubah. Beberapa cara yang disarankan untuk mengatasi kebiasaan fawning antara lain:
- Mengenali pola perilaku dan memahami alasan di baliknya.
- Memberi jeda sebelum bereaksi, misalnya dengan menarik napas dan bertanya pada diri sendiri apakah tindakan itu benar-benar perlu.
- Membangun batasan sehat, termasuk berani mengatakan “tidak”.
- Menguatkan hubungan nyata dibanding sekadar validasi digital.
- Mencari dukungan profesional jika perilaku ini sudah mengganggu kehidupan sehari-hari.
Intinya Fawning merupakan bentuk respons stres yang makin sering muncul di era digital. Meskipun terlihat seolah-olah positif, kebiasaan ini dapat merugikan identitas diri, keseimbangan hubungan, dan kesehatan mental. Untungnya pola ini bisa diubah melalui kesadaran diri, latihan menetapkan batas, serta dukungan dari lingkungan sekitar maupun profesional. Dengan begitu, kita bisa menjalin hubungan yang lebih sehat, bukan karena takut ditolak, melainkan karena mampu menjaga diri sambil tetap menghargai orang lain.
Sumber: https://cyberhub.id/