Keamanan siber secara umum tidak hanya mencakup keamanan lapisan fisik dan logis dari perangkat, tetapi juga keamanan siber sosial. Keamanan siber sosial merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana teknologi digital dapat mempengaruhi perilaku, budaya, hingga pandangan politik masyarakat. Seiring dengan peningkatan ancaman teknis di ruang siber, ancaman siber sosial seperti cyberbullying, tindak kejahatan online, penipuan (scam), serta penyebaran misinformasi dan disinformasi (contoh: hoaks) pun semakin marak. Selain itu, ruang siber juga dimanfaatkan untuk melakukan praktik ilegal, seperti penyebaran lowongan kerja palsu, transaksi barang terlarang (obat terbatas, obat keras, psikotropika, dan narkotika), hingga penyebaran konten berbahaya seperti radikalisme dan pornografi. Sehingaa diperlukan keamanan siber sosial menempatkan manusia sebagai target dan keamanan siber teknis menempatkan teknologi sebagai targetnya.
Berdasarkan survey pemetaan perilaku pengguna ruang siber pada tahun 2023 dan 2024 dengan adalah generasi Z, diwakilkan oleh siswa-siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Responden secara umum melaporkan pernah menemui konten negatif di media sosial. Pada tahun 2023, ancaman siber sosial di Indonesia lebih didominasi oleh dampak media sosial berupa pornografi. Namun, pada tahun 2024, ancaman siber sosial di Indonesia lebih didominasi oleh dampak media sosial yang berkaitan dengan penyebaran hoaks.
Kesimpulan dari Survey yang telah dilaksanakan adalah sebagai berikut:
- Durasi penggunaan internet terlama oleh responden (lebih dari 8 jam) paling tinggi di provinsi Sulawesi Selatan (44,33%), Kalimantan Timur (40%), dan Jawa Barat (39,26%);
- Durasi penggunaan media sosial paling lama (lebih dari 8 jam) paling tinggi di Sulawesi Selatan (25,25%), Gorontalo (22,27%), dan Kalimantan Timur (20,4%);
- Penggunaan koneksi internet yang masih bergantung pada paket data atau kuota operator seluler paling tinggi pada provinsi Maluku (53,91%), Papua (41,34%), dan Gorontalo (40,28%);
- Responden di provinsi Riau (39,22%), Papua Barat (34,5%), dan Sulawesi Tenggara (30,63%) masih cenderung tidak melakukan tindak lanjut atau mengabaikan alert warning pada perangkat;
- Beberapa responden dari provinsi Kalimantan Selatan (2,32%), Bali (2,1%), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (1,28%), Jawa Tengah (1,48%), Kalimantan Timur (1,63%), Papua (1,92%), Sulawesi Barat (1,32%), dan Sumatra Utara (1,38%) pernah melakukan investasi/trading ;
- Tawaran terkait judi online sering didapati oleh responden yang berada di provinsi Jambi (18,03%), Banten (17,4%), dan Papua Barat (15,3%);
- Responden pernah menjadi korban dari tindak kejahatan financial crime pada provinsi Jawa Barat (37,48%), Sumatra Utara (35,24%), dan Papua (34,61%);
- Algoritma FIlter Bubble paling tinggi diketahui pada provinsi Jawa Timur (32,23%), Papua (30,28%), dan Sumatra Barat (28,01%);
- Chatbot pemilu paling tinggi belum diketahui pada provinsi Gorontalo (72,51%), Bangka Belitung (71%), dan Kalimantan Utara (70,1%);
- Undang-undang terkait dengan hal-hal yang dilarang dilakukan di internet paling tinggi belum diketahui pada provinsi Sumatra Selatan (53,67%), Kalimantan Barat (51,70%), dan Maluku Utara (49,76%)
Untuk versi laporan lengkap dari survey dapat diunduh melalui tautan: https://cloud.jogjaprov.go.id/index.php/s/f3AQmRrE6CnEB44